EX-POSE.NET, DELI SERDANG || Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait merasa geram, bahkan merasa dilecehkan. Bagaimana tidak ? Upaya Komnas Perlindungan Anak untuk melindungi anak-anak Indonesia agar hidup dan tumbuh berkembang dengan sehat seperti anak-anak lain yang hidup di negara maju mendapat hambatan, hal ini disampaikannya, Selasa, (17/05/2022) pers rilis Komnas PA.
Arist mencermati adanya upaya penyelidikan dari pihak KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) atas pelabelan pada galon ulang, pasti adanya laporan dari industri atau asosiasi yang berusaha menghambat dan mengintervensi rancangan Perubahan Kedua atas Perka No 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan.
“Saya mencermati adanya upaya dari industri atau asosiasi yang tetap ingin pelabelan informasi BPA tidak jadi disahkan, dengan menyudutkan BPOM melalui laporan kepada KPPU, dengan pengalihan isue persaingan usaha. Sementara rancangan Perubahan Kedua atas Perka BPOM No 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada anak-anak Indonesia,” ungkap Arist.
Secara tegas Arist mengatakan, jika langkah BPOM untuk mensahkan Revisi Perubahan Kedua atas Perka No.31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan dianggap akan menguntungkan satu pihak tertentu karena persaingan usaha, maka jelas pernyataan tersebut melukai anak – anak Indonesia yang dimana dari awal Komnas Perlindungan Anak Indonesia, memperjuangkan hak untuk hidup sehat bagi anak-anak Indonesia.
“Saya Arist, Ketua Komnas Perlindungan Anak dari dulu hingga kini tetap konsisten memperjuangkan hak-hak anak agar bisa hidup dan berkembang secara sehat di bumi Indonesia. Jika BPOM mensahkan Perubahan Kedua atas Perka No 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan yang diuntungkan adalah anak-anak Indonesia. Mereka bisa mengkonsumsi dari kemasan yang Free BPA,” tegas Arist Merdeka Sirait saat diminta komentarnya seputar berita yang menyatakan KPPU akan mencari tahu pihak yang diuntungkan jika pelabelan dilakukan.
Arist lebih jauh menegaskan. Hanya di Indonesia yang masih menggunakan kemasan yang mengandung BPA. Di negara lain termasuk Tiongkok yang berpaham Komunis pun sudah tidak menggunakan plastik yang mengandung BPA sebagai kemasan makanan atau minuman yang akan dikonsumsi oleh bayi dan anak.
“Apakah kita hidup di dunia lain sehingga tidak bisa mengakses hasil penelitian tentang BPA ? Riset tentang bahaya BPA itu tersebar begitu banyak dan dampak yang ditimbulkan juga mengerikan,” tegasnya.
Menurutnya, hasil riset dari para ahli dunia yang telah dijurnalkan dapat dengan mudah diakses melalui internet.
“BPOM telah melakukan penelitian sendiri, hasilnya sangat mengkhawatirkan. Kita mengapresiasi kinerja BPOM. Semestinya yang terkait dengan kesehatan anak jangan dicurigai sebagai persaingan bisnis. Semestinya KPPU tetap berpihak pada anak,” ungkap Arist.
Masih menurut Arist, jika pelabelan terhadap kemasan yang mengandung BPA itu ada pihak yang diuntungkan maka sebaliknya, jika banyak anak anak yang terpapar penyakit akibat BPA berarti ada pihak yang merasa gembira dan mengabaikan kesehatan demi keuntungan semata.
“Apakah narasinya jadi seperti ini ? Maukah mempertaruhkan nasib anak-anak hanya demi persaingan usaha ? Semestinya persaingan usaha itu dengan mengutamakan kesehatan bagi anak-anak. Itu yang benar,” tutur Arist.
Arist juga mengatakan, sebagai bangsa masih menggunakan kemasan yang tidak aman. Sementara di belahan dunia yang lain sudah membuang kemasan yang mengandung BPA, Negara tidak boleh kalah dengan intervensi Industri.
“Komnas Perlindungan Anak sesuai dengan tugas dan fungsinya selalu ada dan hadir untuk anak Industri dan takkan mundur membela anak Indonesia,” tutup Arist. [Red]